Nama Buku : ETIKA HAMKA, Konstruksi Etik
Berbasis Rasional Religius
Penulis Buku : Dr. Abd. HAris
Tahun Buku :
Cetakan 1 : Desember 2010
Halaman Buku : xvi + 258 Halaman
Ukuran Buku :
14,5 x 21 cm
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Hamka mempunyai konsep yang utuh tentang etika, dia
tidak hanya melihat etika atau masalah tingkah laku manusia dari segi nilai
baik dan buruk, yang hanya dibahas dari sisi agama, filsafat atau tasawuf saja.
Tapi, dia membahas etika dengan menggabungkan perspektif agama dan filsafat.
Jika menurut pandangan filosuf, secara epistemologis, manusia adalah mahluk
berakal yang dapat menggunakan fikirannya dengan bebas untuk mencari kebenaran
dalam pengetahuannya (truth). Dan secara etis, manusia adalah mahluk
yang mempunyai hati nurani yang memungkinkannya mencapai kebenaran dalam sikap,
keputusan, dan tindakannya (rightness). Dengan demikian, kedudukan akal
secara akal epistemologis sejajar dengan kedudukan hati nurani secara etis.
Dalam Pengantar nya buku ini semula adalah disertasi Dr.
Abdul Haris di IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Jakarta). Penulis
berusaha mengkaji lebih jauh pemikiran Hamka tentang etika Islam yang dalam
penelitiannya secara mendalam ternyata juga merupakan etika terapan yang
memiliki relevansi dengan perubahan-prubahan yang terjadi di masyarakat. Dalam
pemikiran etika terapannya, Hamka membahas dan memberikan pedoman moral tentang
etika pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika profesi, etika penegakan
hukum yang berkeadilan, dan lain-lain. Konstektualisasi etika Islam dan
relevansi etika terapannya pada kehidupan bermasyarakat inilah yang dibutuhkan
bangsa ini untuk membangun moral bangsa yang bermatabat dan berbudi luhur.
BAB I. Hamka, yang merupakan singkatan dari Haji Abdul
malik Karim Amrullah (1908-1981), adalah seorang yang dikenal oleh masyarakat
luas sebagai orang yang mempunyai integritas tinggi dalam bidang moral dan
keilmuan. Hamka pernah berkata : “ Pepatah yang terkenal : “ Kalau kail panjang
sejengkal, jangan laut hendak diduga”, tidak dapat dipakai disini. Bahkan,
dengan kali yang panjang sejengkal saya bukan menduga laut, saya hanya
memancing ikan yang ada di dalamnya. Sebab, tiap-tiap orang yang memancing saya
lihat-berkat yakin- membawa ikan juga pulang. Atau sebagai orang mencari lokan
yang dihempaskan ombak ke tepi, dengan gembira, padahal masih banyak, dan tidak
terhitung, lokan dan mutiara yang masih tersimpan di dasar laut. Lokan-lokan
yang sampai ke pamtai itulah yang diperebutkan oleh manusia dari jaman ke
jaman.” Pada akhirnya, berdasar itu semua, menarik untuk dipelajari secara
kritis pemikiran etika Islam Hamka, yang menyangkut pandangannya tentang
unsure-unsur ekstensial manusia yang termasuk di dalamnya masalah daya-daya
yang dikandungnya atau yang dimiliki oleh manusia serta potensi lainnya yang
terkait dengan masalah moral.
BAB II, Kerangka teoritis etika dimaksudkan sebagai
bahan acuan untuk mengantarkan pemahaman terhadap persoalan etika Islam yang
dijadikan sudut pandang dalam penulisan buku ini dan untuk melihat objek
pemikiran etika yang dijadikan objek penulisan. Nilai itu sendiri didefinisikan
antara lain dengan standard atau ukuran (norma) yang digunakan untuk mengukur
segala sesuatu. Gordon Allport mengatakan bahwa nilai adalah yang membuat
seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Nilai dalam etika merupakan tema
yang abstrak. Oleh karena itu, memerlukan kajian yang serius dan mendalam yang
menyangkut kualitas, asal atau sumber, dan pandangan-pandangan dari beberapa
aliran dalam etika. Setidaknya ada dua asal nilai baik dan tidak baik yang
terdapat dalam etika. Dua sumber itu adalah: Pertama, nilai normative yang bersumber dari buah
pikiran manusia dalam menata kehidupan social. Kedua, nilai perskriptif
yang bersumber dari wahyu. Sidi Gazalba mengatakan moral adalah sesuai
dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan
wajar. Menurut ahmad amin etika adalah segala perbuatn yang timbul dari orang
yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia Mengetahui waktu melakukannya
apa yang ia perbuat. Inilah yang dapat kita beri hukum baik dan buruk, demikian
juga segala perbuatan yang timbul tiada dengan kehendak, tetapi dapat
diikhtiarkan penjagaan sewaktu sadar. Pembagian etika menurut penulis,
sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli filsafat yang lain juga, etika dibagi
menjadi tiga, yaitu etika deskriptif, etika normative dan metaetika. Dalam buku
ini yang dimaksud Etika Islam adalah etika yang berdasarkan ajaran agama Islam,
yaitu berasal dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma, dan Qiyas. Ada beberapa aliran
etika Islam, menurut Majid Fakhry membagi etika Islam menjadi empat kelompok. Pertama,
moralitas scriptural (scriptural morality). Kedua, etika
teologis (theological ethics). Ketiga, etika filosofis (philosophical
ethic). Keempat, etika religious (religious theories).
BAB III, Pada bab ini Hamka menjelaskan bahwa studi
etika dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, dari sudut filsafat sebagaimana yang dilakukan
oleh Ibnu Miskawaih dan Ibnu Arabi. Kedua, dari sudut di antara agama
dan filsafat sebagaimana yang di lakukan oleh Ibnu Hazm, seorang filosuf dan
ahli fiqh Andalusia. Ketiga, dari sudut tasawuf sebagaimana yang dilakukan
oleh al-Ghazali. Hamka juga menyebut etika dengnan istilah ilmu budi dan
akhlak, sebagaimana dia mengatakan, “ Maka bertimpa-timpalah penyakit yang lain
yang disebut di dalam pelajaran ilmu budi dan akhlak (etika). Selain
istilah-istilah sebagaimana yang telah disebut di atas, Hamka juga menggunakan
istilah filsafat akhlak dan istilah adab. Dengan demikian, istilah etika
oleh Hamka disamakan dengan istilah ilmu budi pekerti, budi, ilmu budi, akhlak,
dan ilmu akhlak. Menurut G.E Von Grunebaum, dalam Medieval Islam A Study in
Cultural Orientation, Kata adab sudah dikenal dalam bahasa Arab sejak zaman
sebelum Islam, tetapi istilah adab ini mempunyai makna yang berubah-ubah sesuai
dengan konteks yang melingkupinya. Menurut Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas,
mengatakan bahwa adab adalah ilmu tentang tujuan mencari pengetahuan.
Sedangkan tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan
dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai pribadi. Hamka mengatakan bahwa
kemajuan akal terbagi menjadi dua bagian. Pertama, kemajuan kecerdasan. Kedua, kemajuan
perasaan. Kemajuan perasaan dinamakan dengan istilah budi atau keutamaan dan
kemajuan adab kesopanan. Hamka membagi adab ada 2 bagian, (1). Adab di Luar,
adab di luar atau etiket menurut Hamka adalah “kesopanan pergaulan,
menjaga yang salah pada pandangan orang. Adab di luar berubah menurut perubahan
tempat dan bertukar menurut pertukaran zaman, termasuk kepada hukum adat
istiadat, rasam basi, dan lain-lain. (2) Adab di dalam atau kesopanan batin adalah sumber kesopanan lahir, dalam hal ini
dia mengatakan bahwa kesopanan batin adalah tempat timbul kesopanan lahir.
Hamka membagi Adab di dalam atau kesopanan batin menjadi 2 bagian, antara lain
: (1) Adab Sesama Makhluk. (2) Adab kepada Tuhan.
Hamka juga mengatakan bahwa kepercayaan kepada Allah itu
sebagai titik tolak dan sekaligus menjadi tempat berpijak seorang muslim. Dalam
hal ini dia mengatakan, “kepercayaan yang satu (tauhid. Pen) itulah yang
disuruh pelihara baik-baik, dipegang teguh-teguh, sebab inilah pangkal tempat
bertolak dan ini pula keputusan dari segala hukum. Hamka juga mengatakan bahwa
aqidah tauhid adalah pokok hidup mereka. Aqidah tauhid adalh hakikat hidup
mereka. Dan ia juga mengatakan “tauhid itulah yang member nilai hidup.”
Konsep kebahagiaan Hamka menekankan pada aspek
keseimbangan. Keseimbangan antara jiwa dan badan, individu dan social, dan
keseimbangan antara kebahagiaan dunia dan akhirat. Konsep kebahagiaan Hamka
banyak dipengaruhi oleh Imam al-Ghazali. Kebahagiaan menurut al- Ghazali
ditentukan oleh konsep keseimbangan antara kebahagaan dunia dan kebahagiaan
akhirat. Menurutnya, kebahagiaan banyak ditentukan oleh beberapa factor. Pertama,
kebahagiaan ditentukan oleh keutamaan akal
budi, seperti mempunyai ilmu yang luas dan bermanfaat, ‘iffah, syaja’ah,
dan ‘adl. Kedua, kebahagiaan ditentukan oleh keutamaan ada pada
jasmani. Ketiga, kebahagiaan ditentukan oleh luar jasmani. Keempat,
kebahagiaan ditentukan oleh keutamaan taufik Allah.
BAB IV, Hamka membahas beberapa masalah etika terapan
atau etika khusus dengan menggunakan terma “budi”, tetapi maksudnya adalah etika dalam arti praksis.
Meskipun dia tidak menggunakan terma etika, tetapi yang dimaksud adalah etika
dalam arti terapan. Etika terapan yang dibahasnya adalah retika yang terkait
dengan pekerjaan-pekerjaan atau profesi-profesi tertentu. Etika terapan atau
khusus atau etika praksis yang dibahas oleh Hamka, antara lain : (1) Etika
Pemerintahan, Etika dalam bidang pemerintahan berarti etika yang membahas
masalah-masalah yang berkaitan dengan hal mengelola, mengatur, menyelenggarakan
kekuasaan suatu Negara. (2). Etika Ekonomi dan Bisnis, pemikiran etika Hamka
ini akan dilihat dalam perspektif etika Islam dalam bidang ekonomi dan bisnis.
Etika ekonomi dan bisnis Islam adalah etika khusus atau etika terapan yang
terkait dengan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam masalah-masalah yang
berhubungan dengan masalah pengaturan sumber-sumber yang langka dan pemenuhan
kebutuhan- kebutuhan manusia yang terkait dengan masalah-masalah yang
berhubungan denngan usaha dalam bidang perdagangan, perusahaan, dan
lain-lain.
BAB V, Hamka mengingatkan tentang berbagai persoalan
moral ini dengan sangat jelas. Dia selalu mengatakan hanya dengan moral yang
dibangun di atas keyakinan dan kepercayaan, kepada Tuhan Yang Maha Esa ( agama
yang kuat), maka manusia dapat diselamatkan dari kehancuran dan dapat
menyelesaikan masalah-masalah moralitas bangsa, termasuk bangsa Indonesia.
BAB VI.
Kesimpula. Pertama, Hamka mempunyai Konsep yang utuh tentang
etika. Menurutnya, hakikat etika adalah pembahasan tingkah laku manusia segi
nilai baik dan buruk. Hamka melihat dalam
pembahasan masalah etika dapat dilihat dari tiga segi; segi filsafat,
sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Maskawaih, segi gabungan antara agama dan
filsafat, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Hazm, dan segi tasawuf,
sebagaimana yang dilakukan oleh al-Ghazali. Kedua, Hamka melihat
motivasi melakukan perbuatan moral lebih banyak ditentukan oleh factor dari
Internal. Factor internal yang menentukan perbuatan noral adalah akal. Menurut
Hamka, manusia dengan akalnya mampu Mengetahui dan melakukan perbuatan yang
baik karena dalam pandangan Hamka manusia mempunyai kekuatan yang dominan dalam
menentukan perbuatan, Dan sebagainya.