Sinopsisi Buku : ETIKA HAMKA, Konstruksi Etik Berbasis Rasional Religius

on Selasa, 13 Januari 2015
Nama Buku                 : ETIKA HAMKA, Konstruksi Etik Berbasis Rasional Religius
Penulis Buku               : Dr. Abd. HAris
Tahun Buku                : Cetakan 1 : Desember 2010
Halaman Buku            : xvi + 258 Halaman
Ukuran Buku              : 14,5 x 21 cm
Penerbit                       :  LKiS Yogyakarta

Hamka mempunyai konsep yang utuh tentang etika, dia tidak hanya melihat etika atau masalah tingkah laku manusia dari segi nilai baik dan buruk, yang hanya dibahas dari sisi agama, filsafat atau tasawuf saja. Tapi, dia membahas etika dengan menggabungkan perspektif agama dan filsafat. Jika menurut pandangan filosuf, secara epistemologis, manusia adalah mahluk berakal yang dapat menggunakan fikirannya dengan bebas untuk mencari kebenaran dalam pengetahuannya (truth). Dan secara etis, manusia adalah mahluk yang mempunyai hati nurani yang memungkinkannya mencapai kebenaran dalam sikap, keputusan, dan tindakannya (rightness). Dengan demikian, kedudukan akal secara akal epistemologis sejajar dengan kedudukan hati nurani secara etis.
Dalam Pengantar nya buku ini semula adalah disertasi Dr. Abdul Haris di IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Jakarta). Penulis berusaha mengkaji lebih jauh pemikiran Hamka tentang etika Islam yang dalam penelitiannya secara mendalam ternyata juga merupakan etika terapan yang memiliki relevansi dengan perubahan-prubahan yang terjadi di masyarakat. Dalam pemikiran etika terapannya, Hamka membahas dan memberikan pedoman moral tentang etika pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika profesi, etika penegakan hukum yang berkeadilan, dan lain-lain. Konstektualisasi etika Islam dan relevansi etika terapannya pada kehidupan bermasyarakat inilah yang dibutuhkan bangsa ini untuk membangun moral bangsa yang bermatabat dan berbudi luhur. 

BAB I. Hamka, yang merupakan singkatan dari Haji Abdul malik Karim Amrullah (1908-1981), adalah seorang yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai orang yang mempunyai integritas tinggi dalam bidang moral dan keilmuan. Hamka pernah berkata : “ Pepatah yang terkenal : “ Kalau kail panjang sejengkal, jangan laut hendak diduga”, tidak dapat dipakai disini. Bahkan, dengan kali yang panjang sejengkal saya bukan menduga laut, saya hanya memancing ikan yang ada di dalamnya. Sebab, tiap-tiap orang yang memancing saya lihat-berkat yakin- membawa ikan juga pulang. Atau sebagai orang mencari lokan yang dihempaskan ombak ke tepi, dengan gembira, padahal masih banyak, dan tidak terhitung, lokan dan mutiara yang masih tersimpan di dasar laut. Lokan-lokan yang sampai ke pamtai itulah yang diperebutkan oleh manusia dari jaman ke jaman.” Pada akhirnya, berdasar itu semua, menarik untuk dipelajari secara kritis pemikiran etika Islam Hamka, yang menyangkut pandangannya tentang unsure-unsur ekstensial manusia yang termasuk di dalamnya masalah daya-daya yang dikandungnya atau yang dimiliki oleh manusia serta potensi lainnya yang terkait dengan masalah moral.
BAB II, Kerangka teoritis etika dimaksudkan sebagai bahan acuan untuk mengantarkan pemahaman terhadap persoalan etika Islam yang dijadikan sudut pandang dalam penulisan buku ini dan untuk melihat objek pemikiran etika yang dijadikan objek penulisan. Nilai itu sendiri didefinisikan antara lain dengan standard atau ukuran (norma) yang digunakan untuk mengukur segala sesuatu. Gordon Allport mengatakan bahwa nilai adalah yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Nilai dalam etika merupakan tema yang abstrak. Oleh karena itu, memerlukan kajian yang serius dan mendalam yang menyangkut kualitas, asal atau sumber, dan pandangan-pandangan dari beberapa aliran dalam etika. Setidaknya ada dua asal nilai baik dan tidak baik yang terdapat dalam etika. Dua sumber itu adalah: Pertama,  nilai normative yang bersumber dari buah pikiran manusia dalam menata kehidupan social. Kedua, nilai perskriptif yang bersumber dari wahyu. Sidi Gazalba mengatakan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Menurut ahmad amin etika adalah segala perbuatn yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia Mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat. Inilah yang dapat kita beri hukum baik dan buruk, demikian juga segala perbuatan yang timbul tiada dengan kehendak, tetapi dapat diikhtiarkan penjagaan sewaktu sadar. Pembagian etika menurut penulis, sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli filsafat yang lain juga, etika dibagi menjadi tiga, yaitu etika deskriptif, etika normative dan metaetika. Dalam buku ini yang dimaksud Etika Islam adalah etika yang berdasarkan ajaran agama Islam, yaitu berasal dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma, dan Qiyas. Ada beberapa aliran etika Islam, menurut Majid Fakhry membagi etika Islam menjadi empat kelompok. Pertama, moralitas scriptural (scriptural morality). Kedua, etika teologis (theological ethics). Ketiga, etika filosofis (philosophical ethic). Keempat, etika religious (religious theories).
BAB III, Pada bab ini Hamka menjelaskan bahwa studi etika dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama,  dari sudut filsafat sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Miskawaih dan Ibnu Arabi. Kedua, dari sudut di antara agama dan filsafat sebagaimana yang di lakukan oleh Ibnu Hazm, seorang filosuf dan ahli fiqh Andalusia. Ketiga, dari sudut tasawuf sebagaimana yang dilakukan oleh al-Ghazali. Hamka juga menyebut etika dengnan istilah ilmu budi dan akhlak, sebagaimana dia mengatakan, “ Maka bertimpa-timpalah penyakit yang lain yang disebut di dalam pelajaran ilmu budi dan akhlak (etika). Selain istilah-istilah sebagaimana yang telah disebut di atas, Hamka juga menggunakan istilah filsafat akhlak dan istilah adab. Dengan demikian, istilah etika oleh Hamka disamakan dengan istilah ilmu budi pekerti, budi, ilmu budi, akhlak, dan ilmu akhlak. Menurut G.E Von Grunebaum, dalam Medieval Islam A Study in Cultural Orientation, Kata adab sudah dikenal dalam bahasa Arab sejak zaman sebelum Islam, tetapi istilah adab ini mempunyai makna yang berubah-ubah sesuai dengan konteks yang melingkupinya. Menurut Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas, mengatakan bahwa adab adalah ilmu tentang tujuan mencari pengetahuan. Sedangkan tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai pribadi. Hamka mengatakan bahwa kemajuan akal terbagi menjadi dua bagian. Pertama,  kemajuan kecerdasan. Kedua, kemajuan perasaan. Kemajuan perasaan dinamakan dengan istilah budi atau keutamaan dan kemajuan adab kesopanan. Hamka membagi adab ada 2 bagian, (1). Adab di Luar, adab di luar atau etiket menurut Hamka adalah “kesopanan pergaulan, menjaga yang salah pada pandangan orang. Adab di luar berubah menurut perubahan tempat dan bertukar menurut pertukaran zaman, termasuk kepada hukum adat istiadat, rasam basi, dan lain-lain. (2) Adab di dalam atau kesopanan batin  adalah sumber kesopanan lahir, dalam hal ini dia mengatakan bahwa kesopanan batin adalah tempat timbul kesopanan lahir. Hamka membagi Adab di dalam atau kesopanan batin menjadi 2 bagian, antara lain : (1) Adab Sesama Makhluk. (2) Adab kepada Tuhan.
Hamka juga mengatakan bahwa kepercayaan kepada Allah itu sebagai titik tolak dan sekaligus menjadi tempat berpijak seorang muslim. Dalam hal ini dia mengatakan, “kepercayaan yang satu (tauhid. Pen) itulah yang disuruh pelihara baik-baik, dipegang teguh-teguh, sebab inilah pangkal tempat bertolak dan ini pula keputusan dari segala hukum. Hamka juga mengatakan bahwa aqidah tauhid adalah pokok hidup mereka. Aqidah tauhid adalh hakikat hidup mereka. Dan ia juga mengatakan “tauhid itulah yang member nilai hidup.”
Konsep kebahagiaan Hamka menekankan pada aspek keseimbangan. Keseimbangan antara jiwa dan badan, individu dan social, dan keseimbangan antara kebahagiaan dunia dan akhirat. Konsep kebahagiaan Hamka banyak dipengaruhi oleh Imam al-Ghazali. Kebahagiaan menurut al- Ghazali ditentukan oleh konsep keseimbangan antara kebahagaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Menurutnya, kebahagiaan banyak ditentukan oleh beberapa factor. Pertama, kebahagiaan ditentukan oleh keutamaan akal  budi, seperti mempunyai ilmu yang luas dan bermanfaat, ‘iffah, syaja’ah, dan ‘adl. Kedua, kebahagiaan ditentukan oleh keutamaan ada pada jasmani. Ketiga, kebahagiaan ditentukan oleh luar jasmani. Keempat, kebahagiaan ditentukan oleh keutamaan taufik Allah.    
BAB IV, Hamka membahas beberapa masalah etika terapan atau etika khusus dengan menggunakan terma “budi”, tetapi  maksudnya adalah etika dalam arti praksis. Meskipun dia tidak menggunakan terma etika, tetapi yang dimaksud adalah etika dalam arti terapan. Etika terapan yang dibahasnya adalah retika yang terkait dengan pekerjaan-pekerjaan atau profesi-profesi tertentu. Etika terapan atau khusus atau etika praksis yang dibahas oleh Hamka, antara lain : (1) Etika Pemerintahan, Etika dalam bidang pemerintahan berarti etika yang membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan hal mengelola, mengatur, menyelenggarakan kekuasaan suatu Negara. (2). Etika Ekonomi dan Bisnis, pemikiran etika Hamka ini akan dilihat dalam perspektif etika Islam dalam bidang ekonomi dan bisnis. Etika ekonomi dan bisnis Islam adalah etika khusus atau etika terapan yang terkait dengan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah pengaturan sumber-sumber yang langka dan pemenuhan kebutuhan- kebutuhan manusia yang terkait dengan masalah-masalah yang berhubungan denngan usaha dalam bidang perdagangan, perusahaan, dan lain-lain. 
BAB V, Hamka mengingatkan tentang berbagai persoalan moral ini dengan sangat jelas. Dia selalu mengatakan hanya dengan moral yang dibangun di atas keyakinan dan kepercayaan, kepada Tuhan Yang Maha Esa ( agama yang kuat), maka manusia dapat diselamatkan dari kehancuran dan dapat menyelesaikan masalah-masalah moralitas bangsa, termasuk bangsa Indonesia.
BAB VI.  Kesimpula. Pertama, Hamka mempunyai Konsep yang utuh tentang etika. Menurutnya, hakikat etika adalah pembahasan tingkah laku manusia segi nilai baik dan buruk. Hamka melihat dalam  pembahasan masalah etika dapat dilihat dari tiga segi; segi filsafat, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Maskawaih, segi gabungan antara agama dan filsafat, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Hazm, dan segi tasawuf, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Ghazali. Kedua, Hamka melihat motivasi melakukan perbuatan moral lebih banyak ditentukan oleh factor dari Internal. Factor internal yang menentukan perbuatan noral adalah akal. Menurut Hamka, manusia dengan akalnya mampu Mengetahui dan melakukan perbuatan yang baik karena dalam pandangan Hamka manusia mempunyai kekuatan yang dominan dalam menentukan perbuatan, Dan sebagainya.